Melihat Daerah Konflik dengan Empati

September 1, 2007 at 12:47 am (kumpulan artikel, Teuku Kemal Corner)

Melihat Daerah Konflik dengan Empati

Teuku Kemal Fasya

Bila direfleksikan kembali jalannya dua tahun perdamaian Aceh yang momennya berdekatan dengan perayaan Indonesia merdeka, terlihat ada sedikit cedera yang mengiringi. Kasus penurunan bendera merah putih, telah ditanggapi secara berlebihan oleh elite-elite Jakarta . Sedikit cacat ini seolah ingin menggulung seluruh prosesi damai di Aceh, termasuk keceriaan pawai tujuhbelasan di tiap kota yang belum pernah ada dalam lima tahun belakangan ini.

Pernyataan elite yang cenderung membesar-besarkan masalah ini sangat bertedensi politis. Bahkan ada seruan mencopot Pangdam Iskandar Muda untuk kasus yang terjadi hanya di tiga desa dari 5.958 desa ada di Aceh. Sebuah statemen yang sumir.

Pertanyaannya, kemanakah muara tuntutan itu berlabuh? Apakah tindakan ultra-kekerasan yang penuh pilu perlu diambil untuk menjinakkan hati dan pikiran rakyat Aceh, seperti yang dilakukan di masa DOM dan darurat militer 2003 lalu? Berapa banyak lagi tumbal anak negeri untuk membayar egoisme kebangsaan yang berbasis bendera?

Miopisme
Ada gejala tidak sehat ketika elite nasional lebih gampang menghujat dan memperumit masalah saat muncul letupan-letupan politik di daerah. Aksi penurunan bendera merah putih, aksi tarian Cakalele di Ambon , dan upacara adat Papua dengan pengibaran bendera OPM (Organisasi Papua Merdeka) dianggap sebagai tindakan fatal yang tak terampuni. Sikap ini juga mengecilkan upaya tokoh bangsa di pemerintahan lalu, seperti Gus Dur, yang telah berperan besar mencegah separatisme. Elite Jakarta lupa bahwa keresahan lokal tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang narsistik di era lalu. L’etat Cest Moi dan despotisme telah menyebabkan nasionalisme hanya milik Jakarta .

Jika memakai batas representasi, sesungguhnya berapa banyak rakyat Aceh, Papua, dan Maluku Selatan yang masih bersemangat dengan gerakan anti-perdamaian dan propaganda primordialisme kuno seperti itu? Perspektif mengembungkan minoritas, mengempiskan mayoritas, dan mencampur-adukkan antara opini dan fakta menghasilkan konklusi yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan politik (separatisme) lokal. Kebaikan utama yang bisa dilakukan adalah membiarkan tokoh-tokoh lokal berpengaruh melakukan kegiatan resolusi konflik. Jakarta tidak perlu terburu-buru mengambil kebijakan, apalagi kebijakan represif yang berbiaya mahal dan cenderung menambah duka.

Kacamata yang perlu digunakan dalam melihat problem konflik di daerah adalah proporsionalitas yang didasarkan kepada takaran yang objektif, yaitu mengapresiasi variabel yang mendukung kepada integrisme (kohesivitas sosial-budaya, nasionalisme, pragmatisme masyarakat) dan memperbaiki variabel penolak (unfavorable factor) dengan tindakan yang tepat dan minim resiko. Seluruh anatomi ketidakpuasan sebenarnya terletak di hati yang kemudian tercerna oleh pikiran dan terstimuli melalui tindakan. Maka rebut dan menangkan hati dan pikiran rakyat yang terluka. Jangan ada dusta yang mencederai ketulusan daerah untuk mengubah sejarahnya.

Etno-sentrime?
Alasan yang sering disalah-artikan tentang sikap politik lokal seperti pendirian parpol lokal atau pengibaran bendera adalah munculnya kembali semangat nasionalisme kesukuan (etno-nasionalisme). Padahal gejala “pemberontakan lokal” lebih menjadi politik identitas karena tidak pernah didengarkan dan diabaikan oleh pusat. Dari hasil riset tentang gerakan separatisme banyak kesimpulan yang menyatakan bahwa problemnya sering bersifat psikologis dan kultural.

Ekseminasi politik lokal menjadi alternatif untuk mengisi kepentingan keregionalan dan kelokalan baik dari sisi bahasa, budaya, dan religiusitas lokal perlu didukung. Hal itu terjadi karena kohesivitas lokal lebih kuat menarik solidaritas sebagai agregasi politik yang tak mungkin ditutupi oleh payung kepentingan nasional. Jika kita diperinci kembali, pesan-pesan kenasionalan yang dibawa birokrat lokal seringkali hanya lapik visi kepentingan Jakarta atau pusat. Ini yang membuat masyarakat daerah jengah.

Kontradiksi nasionalisme dan separatisme sebenarnya tidak begitu tepat digunakan untuk membahasakan proses kepentingan daerah konflik ini. Kebanyakan janji dan komitmen yang disuarakan para calon presiden di era pemilu 2004 misalnya, hanya berhenti di slogan dan janji. Mereka hanya melakukan agregasi politik menjelang pemilu. Ketika siklus daur ulang kekuasaan itu selesai, representasi rakyat dan “kenasionalan” pun sayup-sayup terhenti. Kritik ini juga patut didengarkan oleh para pembantu SBY-JK, bahwa daerah masih sesak oleh situasi yang tak kunjung berubah.

Lagi pula jika direfleksikan, separatisme yang muncul selama ini akarnya bukan oleh rendahnya mutu nasionalisme masyarakat lokal (sebut saja Aceh atau Papua), tetapi akibat “nasionalisme resmi” yang dianut, diyakini, dan digerakkan oleh mesin-mesin elite (Jakarta) tidak memberikan suara bagi nasionalisme lokal. Salah satu arogansi nasionalisme elitis Jakarta adalah praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.

Maka tidak tepat jika pembangkangan lokal seperti penurunan bendera dan penaikan bendera “lain” dianggap sebagai momentum bangkitnya separatisme, tetapi mekarnya “nasionalisme Aceh, Papua, Maluku” yang perlu didengarkan dan dihadapkan dengan nasionalisme pusat atau Jakarta . Etnonasionalisme tidak selalu sejalan dengan etno-sentrisme. Etnonasionalisme dapat menjadi kritik yang menghujam-hujam konstruksi beku dari nasionalisme resmi ketika ia direspons dengan positif dan telinga terbuka.

Hiduplah Indonesia raya!

Teuku Kemal Fasya, Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA).
Tulisan ini telah dimuat di Media Indonesia, 27 Agustus 2007

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar