Peran Agama dan Nalar dalam Politik

Agustus 22, 2010 at 12:21 am (kumpulan artikel, Teuku Kemal Corner)


Teuku Kemal Fasya

Judul : Dialektika Sekulerisasi : Diskusi Habermas dan Ratzinger dan Tanggapan.
Editor : Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko.
Penerbit : Lamalera-Ledarero (Yogyakarta-Flores).
Cet I : April 2010.
Tebal : 265 + xi
ISBN : 978-979-25-4823-5
Harga : Rp. 39.000,-

Bagaimana menilai peran agama dan akal budi dalam wacana politik modern? Dua perdebatan yang dalam sejarah dunia dan Indonesia telah melahirkan pertentangan sengit hingga konflik militer yang berdarah-darah. Pertanyaan itu menjadi inti bahasan buku ini.

Dua tokoh yang dipresentasikan, Juergen Habermas dan Joseph Ratzinger, memperlihatkan elan vital dialektika gagasan agama versus nalar itu. Prof. Juergen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog, mendorong agar negara menjauhi nalar agama. Di sisi seberang, Kardinal Joseph Ratzinger, yang saat sekarang dikenal sebagai Paus Benediktus VIII, menganggap nilai-nilai religius dapat digunakan dalam negara demokratis sekali pun.

Buku ini tidak berbentuk perdebatan terbuka dengan tesis-tesis menajam-pedas, ibarat perdebatan Umberto Eco dan Kardinal Martini dalam buku Belief or Not Belief : A Confrontation (Arcade Publishing, New York, 1997) atau antara Al Ghazali dan Ibn Rushd dalam khazanah pemikiran Islam.

Buku ini menyunting dua makalah seminar Institut Katolische Akademie Bayern Muenchen pada 19 Januari 2004, dengan tema “Basis Pra-politis Moral untuk Sebuah Negara Liberal”. Sebenarnya perdebatan atau dialektika di dua pemikiran itu dipertajam oleh editor buku, Paul Budi Kleden dan Adrianus Sunarko. Mereka menampilkan gagasan dua tokoh itu secara lengkap dan pada bagian kedua kedua gagasan itu disyarah sehingga memudahkan pembaca mengikuti alur pemikiran ke dalam bahasa Indonesia. Aslinya kedua pemikiran itu berasal Bahasa Jerman yang terkenal rumit dan padat makna (geistigen).

Dalam tulisan Habermas, “Basis Pra-politis Sebuah Negara Hukum yang Demokratis” (Vorpolitische Grundlagen des demokratischen Rechsstaates) disebutkan bahwa negara hukum yang demokratis dapat memperbarui syarat-syarat normatifnya dari kekuatan negara itu sendiri tanpa harus bergantung pada pandangan etis-religius. Hal ini dianggap sebagai “kenyataan pluralisme” yang dialami oleh negara-negara modern (hal. 2).

Namun menurut Habermas hal itu tidak akan berjalan dengan sendirinya. Negara adalah unsur statis dari politik yang cenderung merejim. Negara akan menjadi demokratis jika ada solidaritas warga untuk memahami dan mereproduksi diri sebagai pembuat hukum yang demokratis (hal. 8). Tradisi religius harus ditolak, karena cenderung membangkitkan intuisi kesalahan atau menjadi juru selamat dari kehidupan yang kacau dan jahat. Jika negara mengikuti nalar agama ia bisa menjadi kekuatan fundamentalis yang mengabaikan rasionalisme dan demokrasi. Negara tidak boleh menjadi seperti agama yang merasa sempurna (comprehensive doctrine). Negara harus disekulerisasi agar tidak ada monopoli interpretasi dalam interaksi sosiologis warga-negara (hal. 24).

Sebaliknya Joseph Ratzinger mengatakan ilmu pengetahuan tidak akan berkembang seperti sekarang jika tak mendapatkan lawan tanding yang kuat seperti agama. Ia mencontohkan, proyek etika global yang dikembangkan oleh Hans Kung adalah contoh bahwa agama masih eksis. Agama menjadi penyuluh yang mengakomodasi nilai-nilai baru yang lebih sejalan dengan semangat sekularisme dan humanisme. Yang perlu dilakukan adalah bukan memusuhi negara tapi mendemokratisasi dan rasionalisasi nilai-nilai yang ada di dalamnya sehingga menjadi pengetahuan baru yang mendamaikan.

Ratzinger juga tidak mempercayai mekanisme demokrasi negara pasti mendatangkan kematangan hukum. Ia mencontohkan peran mayoritas. Apabila mayoritas yang besar menekan minoritas melalui pembentukan hukum, apakah kita masih bisa berbicara masalah keadilan dan normatif hukum yang demokratis? (hal. 36). Demikian juga demokrasi prosedural belum tentu melahirkan nilai-nilai yang demokratis. Nilai-nilai agama dianggap dapat mengatasi problema demokrasi sekuler di dalam dirinya sendiri, karena inspirasi religius pada dasarnya universal dan humanis.

Buku ini menarik dibaca, terutama bagi para pemerhati dan perumus kebijakan publik (termasuk anggota DPR), agar tidak mudah memolitisasi nilai-nilai agama menjadi hukum yang manipulatif dan menindas. Kehadiran negara, bukan hanya menjamin seluruh warga negara, tapi juga mempertahankan nilai-nilai minoritas agar tidak menguap dan hilang. Karena minoritas cenderung menghilang oleh retorika “demi kesatuan bangsa dan kepentingan umum”.

Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.
Dimuat di Koran Jakarta, 19 Juli 2010.

Tinggalkan komentar