Seduka Pengungsi Myanmar Teuku Kemal Fasya

Februari 19, 2009 at 3:28 am (kumpulan artikel, Teuku Kemal Corner)

KL
Aceh adalah pesona kunjungan. Jika sebelumnya kunjungan berasal dari ekspatriat migas asing dan pekerja kemanusiaan, kini pengunjung adalah para pengungsi miskin dan lusuh.

3 Februari lalu, di Kuala Idi, Aceh Timur, 198 pengungsi asal Myammar terdampar dengan kondisi menyedihkan. 21 hari sebelumnya mereka dibuang paksa militer Thailand ke laut lepas. Sepanjang perjalanan, 22 orang tewas karena sakit dan lapar. Dengan tongkang sepanjang 16 meter dan lebar 2,5 meter ratusan manusia kapal itu terus berdiri karena tak muat untuk duduk. Awal Januari sebanyak 193 pengungsi Myammar juga terdampar di Sabang.

Ironisnya, Departemen Luar Negeri R.I mengeluarkan pernyataan bahwa para pengungsi Myammar bukan pengungsi politik. “Mereka mencari kehidupan ekonomi yang baik di negara lain, sehingga harus dipulangkan kembali ke negara asalnya”, ujar Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda.

No Master Territory
Salah satu definisi derita adalah terusir dari tanah yang dimiliki secara sah. Takdir sebagai pengungsi selalu menimpa komunitas yang kalah atau minoritas: etnis Tutsi di Rwanda, Kurdi di Iraq, Kashmir di India, Singh di Pakistan, Arab di Yerusalem, atau Rohingya di Myammar. Nasibnya sama, mereka dikeluarkan paksa dari identitas awal dan disuruh memungut identitas baru. Tak aneh jika pengungsi tumbuh dengan kultur hibrida; mencoba melupakan kebudayaan asli dan belajar mengadopsi kebudayaan baru.

Pengungsi Myanmar di Aceh berasal dari etnik minoritas muslim Rohingya. Tak banyak yang tahu bahwa kesewenang-wenangan Junta militer Myanmar – sebelumnya bernama Burma – bukan hanya memberangus perlawanan kelompok oposisi nasional, Aung San Suu Kyi, tapi juga menindas suku-suku minoritas yang berbeda bahasa dan agama. Bahkan pengubahan nama Myanmar pada 1989 (Myanmah) dianggap sebagai label hegemoni politik, karena merujuk secara historis pada etnik mayoritas dibandingkan identitas nasional. Makanya sampai sekarang, kelompok gerilyawan minoritas – seperti juga Amerika, Inggris, dan Kanada – masih menggunakan nama Burma untuk menyebut negara daratan terbesar Asia Tenggara ini.

Jejak rekam kekerasan Junta yang berkuasa sejak 1962 terus berlangsung sampai hari ini. Direktur konsorsium perbatasan Thailand-Burma, Jack Dunford, mengeluarkan statemen terbaru bahwa rejim pemerintah sedang memperhebat operasi militer di daerah basis etnik minoritas Karin yang berbatasan dengan Thailand sehingga ribuan etnis Karin harus keluar dari tanah kelahirannya (newsyahoo.com,3/1/2009).

Gerakan yang dimunculkan oleh etnis Karin sebenarnya telah berakar dari penolakan penyatuan konsep negara Burma sebagai negeri pemenang etnis Myanmah, dan itu sudah berlangsung sejak lima dekade lalu. Sebuah video memperlihatkan bagaimana militer memukuli sipil etnik minoritas di jalanan tanpa alasan yang jelas. Dalam sejarah pemberangusan tentara rejim tak kurang memakai cara-cara amoral untuk meredam pemberontakan : membunuh, kerjapaksa, memperkosa, mengusir dan mebakar desa-desa. Dalam laporan Human Right Watch, sejak tahun 2004 telah lebih sejuta komunitas minoritas yang terusir dari desa-desa mereka. Etnis-etnis minoritas yang ikut menderita adalah Kachin, Chin, Mon, Shan (dekat kerabat dengan etnis Siam di Thailand), dan Rohingya..

Sebagian besar pengungsi ini banyak yang melarikan diri ke Thailand , namun tak kurang menggenggam derita. Mereka menjadi korban kekerasan, pelecehan, penahanan tanpa pengadilan, pemerasan, dipekerjakan tanpa upah minimum yang berlaku di Thailand, dan dipaksa hidup dalam kondisi tidak sehat.

Beberapa etnik minoritas sebenarnya memperjuangkan kemerdekaan dari Myammar, saat ini terpaksa menerima konsep Myammar bersatu (Union of Myanmar). Bukan karena kompensasi ekonomi-politik, tapi karena tak tahan menerima sikap represif rejim militer. Rohingya tidak termasuk etnik pejuang, tapi rejim sudah jatuh curiga pada semua etnik minoritas, melebihi kecurigaan pada kelompok sipil pro-demokrasi.

Kondisi ekonomi negara ini juga semakin memburuk setelah bencana badai Nargis tahun lalu yang mengempaskan dua setengah juta penduduk ke alam terbuka sebagai tunawisma dan pengangguran. Duka Nargis 2 Mei 2008 itu dapat dibandingkan Tsunami 26 Desember 2004, tapi sikap introvert rejim telah menutupi kelemahan dan bobrok manajemen bencana dari mata dunia. Jika bencana tsunami Aceh setelah empat tahun masih meninggalkan banyak permasalahan meskipun ditopang dana Rp. 75 triliun dan supervisi pembangunan oleh lembaga internasional dan BRR, apatah lagi bencana Myanmar yang sepi partisipasi dunia?

Nilai Pengungsi
Sikap pemerintah yang terlalu dini menyimpulkan untuk memulangkan para pengungsi Myanmar adalah kebijakan yang menyakiti hati kemanusiaan. Meskipun para pengungsi ini bukan korban siksaan langsung rejim, tapi mereka adalah anak kandung peradaban yang berhak mendapatkan keamanan ketika negara asalnya tidak bisa menjanjikan “mihrab perlindungan” (temple of refuge).

Bangsa kita juga bukan bangsa yang bebas pengungsian, baik dalam negeri (internally displaced persons/IDPs) atau luar (refugee). Bangsa ini pernah menjadi cincin api yang menyebabkan ratusan ribu anak negeri yang harus mengungsi (Sampit, Ambon , Poso, Atambua, Aceh). Pengungsi Aceh karena konflik di Malaysia pernah merasakan bagaimana sakitnya terusir untuk kembali ke negeri tak berpengharapan. Bahkan ketika pecah “insiden Penjara Semenyih 1997”, banyak para napi yang tak lain imigran ilegal Aceh memilih mati ditembak polisi kerajaan Malaysia daripada dipulangkan ke Aceh. Mereka tahu kembali ke Aceh saat itu juga akan mati, baik oleh penyiksaan tahanan atau “disekolahkan”.

Cara yang paling bijak adalah mengundang lembaga PBB yang mengurusi pengungsian (UNHCR) untuk menentukan sikap yang tepat bagi penanganan pengungsi ini. Bisa jadi diekstradisi ke negara ketiga atau diberikan kesempatan sementara untuk memulihkan trauma. Waktu adalah zat pemulih terbaik atas bayangan gelap masa lalu. Kesaksian dari pengungsi harus dinilai dari perspektif sebagai korban, dalam artian harus dijadikan opini utama untuk menentukan nasib mereka, dan bukan suara resmi dari pemerintah atau kedutaan Myanmar di Indonesia. Sikap inilah yang ditunggu dari pemerintah Indonesia sebagai bangsa yang menghargai nilai kemanusiaan dan keadilan melebihi kepentingan diplomasi lainnya..

Kebijaksanaan kita memang diuji untuk menilai harga para pengungsi yang kebetulan bukan anak negeri ini. Mereka bukan siapa-siapa, tapi kita harus peduli!

Teuku Kemal Fasya, Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh. Lulusan Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta .
Dimuat di Kompas, 14 Februari 2009

Tinggalkan komentar